HASIL KAJIAN EKSKURSI PEMBANGUNAN WADUK JATIGEDE “Rock Fill Dam dan Coffer Dam di Waduk Jatigede”

Selasa, 07 Juni 2011

HASIL KAJIAN EKSKURSI
PEMBANGUNAN WADUK JATIGEDE
“Rock Fill Dam dan Coffer Dam di Waduk Jatigede”
Oleh:
Debby Rahmawati
dera_gals@yahoo.com
Mahasiswa SarMag 2008 Jurusan Teknik Sipil Universitas Gunadarma

1. Gambaran Umum
Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggararung dengan luas 7.711 km2 yang secara administratif terletak di provisi Jawa Barat dan Jawa Tengah berada dalam pengelolaan Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung. Salah satu Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah tersebut adalah DAS Cimanuk yang merupakan satu kesatuan aliran Sungai Cimanuk dari 5 kabupaten yaitu Garut, Sumedang, Majalengka, Indramayu, dan Cirebon. Di dalam tujuannya mengembangkan potensi sumber daya air wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung maka disusun master plan yang mengidentifikasikan 13 potensi waduk di DAS Cimanuk, diantaranya 3 waduk multipurpose yang menjadi prioritas utama: Waduk Jati Gede, Waduk Cipasang, dan Waduk Kadumalik. Akan tetapi, hingga saat ini baru Waduk Jatigede yang sedang dalam proses pembangunan.


Gambar 1. Peta DAS Cimanuk (Kiri), Peta Topografi DAS Cimanuk (Kanan)

2. Latar Belakang Pembangunan Waduk Jatigede
Berdasarkan kondisi yang ada dan permasalah yang timbul di Sungai Cimanuk maka dibangunlah Waduk Jatigede dengan latar belakang sebagai berikut:
a. Ratio perbandingan antara debit banjir dengan debit kering yang besar dimana fluktuasi debit di Sungai Cimanuk yang tercatat di Bendung Rentang (infrastruktur sumber daya air yang telah ada di Sungai Cimanuk) sangat besar : Qmax = 1.004 m3/det; Qmin = 4 m3/det, Ratio = 251.
b. Lahan kritis DAS Cimanuk pada saat ini telah mencapai lebih kurang 110.000 Ha atau sekitar 31% dari luas DAS Cimanuk.
c. Potensi air Sungai Cimanuk di Bendung Rentang rata-rata sebesar 4,3 milyar m3/th dan hanya dapat dimanfaatkan 28% saja, sisanya terbuang ke laut karena belum ada waduk.
d. Sistem irigasi Rentang seluas 90.000 Ha sepenuhnya mengandalkan pasokan air dari Sungai Cimanuk (river runoff), sehingga pada musim kemarau selalu mengalami defisit air irigasi yang mengakibatkan kekeringan.
e. Di wilayah hilir Sungai Cimanuk (Pantura CIAYU) pada musim kemarau telah pula terjadi krisis ketersediaan air baku untuk keperluan domestik, perkotaan dan industri.
Oleh karena itu, dihasilkan keputusan bahwa Waduk Jatigede perlu segera dibangun guna mengatasi krisis air tersebut, baik untuk menjamin ketersediaan air irigasi Rentang maupun air baku untuk wilayah Pantura CIAYU.

3. Manfaat dan Dampak Waduk Jatigede
Pembangunan mega proyek Jatigede menurut rencananya akan diperuntukkan sebagai:
a. Irigasi 90.000 Ha area layanan di wilayah utara yaitu bagi daerah Indramayu, Majalengka dan Cirebon
b. PLTA 110 MW
c. Pengendali banjir
d. Suplai air baku 3.500 lt/dtk
e. Daerah wisata
Proyek ini diperkirakan akan menenggelamkan 5 kecamatan dan 30 desa dengan jumlah penduduk sekira 7163 Kepala Keluarga atau sekira 70.000 jiwa serta akan menenggelamkan areal lahan yang akan tergenang sekira 4896,22 ha.
Ini berarti sekira 20% dari luas areal lahan pertanian di Kabupaten Sumedang akan hilang karena tergenang atau luas lahan sawah (pertanian) di Kabupaten Sumedang yang semula seluas 33.672 ha akan berkurang menjadi 26.934 ha. Bila proyek ini selesai, ini berarti bahwa produksi beras di Kabupaten Sumedang akan berkurang sekira 80.000 ton per tahun atau senilai sekira Rp 120 miliar/tahun dengan harga gabah Rp 1.500.000 per ton.
Akan tetapi, pemerintah baik pusat maupun daerah di Jawa Barat merasa yakin bahwa pembangunan Proyek Waduk Serbaguna (PWS) merupakan satu-satunya cara yang dapat menyelesaikan masalah kekeringan dan banjir di sebagian wilayah PANTURA.
Selain kontroversi antara manfaat dan kerugian yang harus ditanggung, ada beberapa dampak bendungan pula yang dipertimbangkan yaitu:
1. Sekitar 70.000 jiwa akan kehilangan tempat tinggal dan lahan garapan, 1.200 hektare hutan milik Perhutani akan lenyap, puluhan situs sejarah akan tersapu, serta hilangnya potensi hasil bumi yang cukup besar.
2. Hilangnya lahan subur dan turunnya produksi pertanian. Dampak negatifnya tidak hanya menyangkut aspek geologi dengan adanya struktur tanah patahan berpotensi bencana dan rawan gempa, tetapi juga terhadap potensi sumber daya alam, budaya, sosial, dan lainnya.
3. Bendungan itu membutuhkan lahan seluas 4.892 hektare di mana seluas 3.696 hektare merupakan lahan milik penduduk. Dari luas lahan itu hampir 3.200 hektare merupakan lahan subur bagi pertanian, sehingga mengancam produksi beras di Kabupaten Sumedang berkurang sekitar 80.000 ton per tahun.
4. Dari luas DAS Cimanuk 360.000 hektare, 47% merupakan lahan kritis yang merupakan daerah hulu Sungai Cimanuk yang menjadi suplai air untuk bendungan.
5. Dampak terhadap lingkungan. Ribuan spesies tumbuhan dan hewan, akan ikut amblas sebelum sempat terinventarisasi. Karakter tanah dan hutan sekitar Jatigede yang unik, tentu menyimpan kekayaan alam berupa flora dan fauna sangat beragam. Bendungan diduga berkokntribusi sebanyak ¼ proses pemanasan global (WCD) karena gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2) yang dihasilkan.
6. Dampak Sosial berupa hilangnya budaya lokal dan tenggelamnya puluhan situs bersejarah terutama yang berkaitan dengan sejarah Sumedang.
7. Dampak lainnya adalah potensi konflik di daerah relokasi, pelanggaran HAM, masalah pemindahan penduduk. Sejarah proses pemindahan penduduk secara keseluruhan sangat buruk melihat dari kasus bendungan yang lain seperti kasus di India dimana banyak penduduk berakhir di pemukiman kumuh tanpa mendapatkan kehidupan yang layak. Perubahan budaya, cara hidup termasuk dalam memenuhi kebutuhan dasar hidup menjadi tidak terjamin. Contoh nyata pemindahan masyarakat pada proyek pembangunan Kedungombo ke tempat yang tidak subur sama sekali membuat petani tidak dapat memenuhi kehidupannya.

4. Lokasi dan Data Teknis Waduk Jatigede
Sejak pertama kali gagasan Waduk Jatigede dimunculkan pada tahun 1963, beberapa studi dan perencanaan pun dilakukan. Berbagai perubahan baik dari segi desain maupun detail teknis telah terjadi seiring dengan perkembangan perencanaan waduk Jati Gede yang berada di Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat seperti gambar dibawah:

Gambar 2. Peta Lokasi Bendungan Jatigede

Adapun data teknis rencana pembangunan waduk tersebut adalah sebagai berikut:

a.Hidrologi
Luas Catchment Area : 1.462 km2
Volume run-off tahunan : 2,5 x 109 m3
b.Waduk
Muka Air (MA) banjir max : El +262
MA operasi max (FSL) : El +260
MA operasi min (MOL) : El +230
Luas permukaan waduk (El +262) : 41,22 km2
Volume gross (El +260) : 980 x 106 m3
Volume efektif (antara El +221 dan +260) : 877 x 106 m3

c.Bendungan
Tipe : Urugan batu, inti tegak
Elevasi mercu bendungan : El +265
Panjang bendungan : 1.715 m
Lebar mercu bendungan : 12 m
Tinggi bendungan maksimum : 110 m
Volume timbunan : 6,7 x 106 m3
d.Spillway
Lokasi : at the dam body
Tipe : Gated spillway with chute way
Crest : Lebar 50 m, El. +247
Dimensi radial gates : 4 bh (W=13; H=14,5m)
Q outflow : 4,468 m3 /det (PMF = 11.000 m3 /det)

e.Intake Irigasi
Lokasi : Di bawah spillway
Irrigation inlet appron : El +204
Tipe : Reinforced concrete conduit
Dimensi condoit : D=4,5 m; L=400 m

f.Terowongan Pengelak
Lokasi : under the spillway
Inlet level : El +164
Tipe : Circular lined reinforced concrete
Debit rencana (Q100) : 3.200 m3 /det
Dimensi terowongan : D=10 m; L=556 m
g.PLTA
Lokasi : Right abutment
Power Inlet appron : El +210
Headrace tunnel : D=4,5 m; L=3.095 m
Design head : 170 m
Tipe turbin : Francis
Kapasitas terpasang : 2 x 55 GWH =110 MW
Produksi rata-rata : 690 GWH/tahun

5. Rock Fill Dam dan Coffer Dam di Waduk Jatigede
5.1.Rock Fill Dam
Bendungan merupakan suatu konstruksi yang dibangun untuk menahan laju air menjadi waduk, danau, maupun tempat rekreasi. Bendungan Jatigede adalah contoh bendungan tipe rock fill dam yang berupa timbunan batu dengan lapisan inti tanah kedap air tegak. Elevasi puncak nya yaitu + 265,00 m, tinggi bendungan diatas pondasi yaitu 110 m dan volum timbunan yang diperlukan sekitar 4,612 x 106 m3. Bendungan Jatigede memiliki beberapa bagian penting, antara lain inti bendungan, bangunan pelimpah (spillway) dan terowongan pengelak (diversion tunnel) serta saluran-saluran lain yang berfungsi sebagai saluran irigasi.

Gambar 3. Situasi Bendungan Jatigede

Untuk jenis timbunan yang digunakan sebagai urugan di Bendungan Jatigede dijelaskan sebagai berikut:

Tabel 1. Jenis Timbunan Bendungan Jatigede




Gambar 4. Potongan Melintang Bendungan Jatigede

Penimbunan ekstra pada puncak bendungan diperlukan untuk mengimbangi adanya penurunan pada inti bendungan yang disebabkan oleh adanya proses konsolidasi.
Batuan yang dapat digunakan sebagai pondasi pada bendungan pun harus memenuhi kriteria yang ditetapkan sebagai berikut:
1.Pondasi bendungan harus direncanakan sesuai dengan tinggi dan tipe bendungan dengan mempertimbangkan material pembentuk pondasi, setelah batuan (rock), sand, gravel atau tanah (soil).
2.Dalam perencanaan pondasi pengupasan dan metode kontrol rembesan serta menjamin keamanan struktur pondasi harus diperhitungkan sesuai kondisi batuan pondasi dan tubuh bendungan yang direncanakan.
3.Untuk pondasi batuan rock (rock foundation), galian untuk zone kedap air atau dinding perlu dilakukan sampai batuan keras dan sementasi (grouting) perlu dilakukan sesuai dengan skala bendungan dan kondisi bendungan.
4.Galian pondasi perlu disesuaikan bentuknya sehingga memudahkan pekerjaan penimbunan tanpa menyebabkan penurunan. Bentuk galian tidak boleh terlalu curam dan tidak overhanging.
5.Bila diketemukan sesar (fault) perlu diperbaiki (foundation treatment).
6.Grouting perlu dilakukan untuk menutup rekahan (crack) pada pondasi batuan dan harus meningkatkan kekedapan (water tightness).
7.Grouting tirai (curtain grouting) berfungsi sebagai zone kedap air dan diletakkan pada tengah impervious core atau dibagian hulu impervious facing (membrane).
8.Grouting selimut (blanket grouting) berfungsi menahan rembesan pada permukaan pondasi yang retak-retak.
9.Bila grouting tidak dapat dilakukan, dapat diganti dengan impervious blanket pada bagian hulu dan atau pembuatan drain dibagian hilir.

5.2. Instrumen Bendungan
Pemasangan instrumentasi pada tubuh bendungan bertujuan untuk mengamati seluruh kelakuan tubuh bendungan secara seksama, sehingga dapat diketahui kondisi-kondisi yang sebenarnya. Dari data-data yang didapatkan dari instrumen tersebut maka dapat diketahui apakah tubuh bendungan masih dalam kondisi yang normal ataukah sudah terjadi kelainan-kelainan yang dapat menyebabkan timbulnya bahaya, sehingga dapat diantisipasi sebelumnya. Instrumentasi yang dibutuhkan antara lain :
1.Tekanan Air Pori (Pore water pressure)
Berfungsi untuk menghitung kondisi tegangan di tanah sesuai mekanika tanah menurut Terzaghi untuk tekanan efektif tanah.
2.Alat Pengukur Rembesan (Seepage measuring device)
Alat yang berfungsi untuk mendeteksi da mengkuantifikasi outflow air tanah dan adanya infiltrasi air laut.
3.Piezometer
Berupa tabung terbuka atau tertutup yang dipasang dari permukaan tanah ke bawah yang digunakan untuk mengukur tekanan air pada daerah dimana ujung bawah pipa diletakkan.
4.Inclinometer
Alat yang berfungsi untuk mengukur kemiringan bidang (lateral deformation).
5.Crest settlement survey point
Titik survei penurunan puncak berguna dalam monitoring penurunan yang terjadi.
6.Surface settlement survey point
Titik survei penurunan permukaan berguna dalam monitoring penurunan yang terjadi.
7.Seismometer
Alat yang berfungsi untuk mengukur getaran yang ada pada permukaan tanah dan umumnya dipergunakan untuk mendeteksi gempa.
5.3. Cofferdam
Sedangkan bagian Cofferdam adalah sebuah rintangan umumnya bersifat sementara yang dibuat untuk mengeringkan air dari area yang normalnya terendam air. Cofferdam yang direncanakan di Bendungan Jatigede terdiri dari:
1.Main Cofferdam
Berupa Urugan Batu (Rockfill) dengan inti (core) kedap air miring dari tanah liat.
Elevasi Main Cofferdam + 204.00
Lebar mercu bendungan 12 m
Tinggi Main Cofferdam 49 m
Kemiringan lereng d/s = 1(V) : 1,4(H) dan u/s = 1(V) : 3(H)
Total Volume Rock (Batu) = 367.329 m3, Core = 66.046 m3,
Filter = 20.882 m3, dengan Total Volume = 454.257 m3

2.Primary Cofferdam (U/S Dan D/S)
Elevasi Primary Cofferdam + 180.00
Lebar mercu bendungan 8 m
Tinggi Cofferdam 25 m
Kemiringan lereng d/s = 1(V) : 3(H) dan u/s = 1(V) : 3(H)
Total Volume 50.000 m3


Gambar 5. Potongan Melintang Bendungan Jatigede yang Disertai Cofferdam

5.4.Pelaksana Pekerjaan di Bendungan Jatigede
Bendungan Jatigede dibangun dengan kerja sama kontraktor dari China: Sinohydro JO dengan CIC (Consortium of Indonesian Contractors) yang terdiri dari:
1.PT. Waskita Karya
2.PT. Wijaya Karya
3.PT. Pembangunan Perumahan
4.PT. Hutama Karya
Kontraktor Sinohydro JO dari China bertugas untuk membangun bendungan (dam) beserta gallery-gallery baik untuk grouting dan lainnya. Kontraktor CIC dari Indonesia bertugas untuk membangun diversion tunnel yang mana masing-masing kontraktor dari China dan Indonesia memiliki batching plant yang terpisah. Sedangkan untuk konsultan, proyek ini dikerjakan antara kerjasama:
1.Konsultan Nasional (KSO)
Terdiri dari PT. Indra Karya, PT. Mettana, PT. Tata Guna Patria, PT. Wiratman & Ass., PT. Indah Karya
2.DED Consultant : SWHI (China)
Konsultan-konsultan ini juga memiliki tugas masing-masing namun tetap saling berhubungan. Konsultan SWHI bertugas membuat design yang akan dicek oleh KSO begitu pun sebaliknya, konsultan KSO memiliki tugas untuk membuat diversion tunnel design dan hasilnya akan dicek oleh SWHI dan konsultan Indonesia memiliki tanggung jawab untuk supervise seluruh pekerjaan yang ada.

6.Kesimpulan
Waduk Jatigede yang akan berguna untuk supply air baku, irigasi, PLTA, pengendali banjir, dan daerah wisata ini hingga saat penulis melakukan tinjauan masih berada dalam tahap konstruksi spill way, tunnel, dan grouting gallery. Pembangunan waduk yang gagasan nya muncul di 1963 dan pembangunannya direncanakan selesai tahun 2013 ini ternyata masih banyak mengalami kendala dan memiliki beberapa pertimbangan yang harus difikirkan seperti faktor geologi daerah Sumedang yang dilalui oleh Patahan Baribis. Akan tetapi, kajian yang cukup dan pembangunan yang serius antara pemerintah, kontraktor, dan konsultan dari China dan Indonesia diupayakan dapat mengatasi dan meminimalisir akibat buruk yang mungkin terjadi.


untuk versi wordnya download disini


Read More......

REKLAMASI PANTAI UTARA DAN KAITANNYA DENGAN RENCANA TATA RUANG DKI JAKARTA

Kamis, 03 Maret 2011

REKLAMASI PANTAI UTARA DAN KAITANNYA DENGAN RENCANA TATA RUANG DKI JAKARTA
Oleh:
Debby Rahmawati (10308067)
Mahasiswa SarMag 2008 Jurusan Teknik Sipil Universitas Gunadarma
dera_gals@yahoo.com

1.PENDAHULUAN
Rencana pembangunan yang ada secara nasional dan daerah harus saling mengacu dan mengisi yang berarti bahwa antar hukum yang berlaku tidak akan lepas dari hukum-hukum lainnya ditingkat bawah ataupun atasnya dan akan saling merujuk berkenaan dengan suatu masalah.
Seperti contoh masalah reklamasi diatur dalam Undang Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan dirujuk oleh Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Jabodetabekpunjur dimana keduanya dijadikan acuan untuk pembangunan reklamasi pantai. Pendekatan secara partisipatif dalam perencanaan pembangunan yang ada pun diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional di Poin 3 (Proses Perencanaan) bahwa proses perencanaan pembangunan dilaksanakan dengan melibatkan seluruh stakeholder di pusat dan daerah dengan adanya pengendalian pemanfaatan ruang agar tercipta tatanan ruang yang tertib.

Di dalam Peraturan Daerah No.1 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012 dalam hal implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jakarta khususnya di Jakarta Utara direncanakan pengembangan reklamasi Pantai Utara Jakarta. Reklamasi yang berupa proses pembuatan daratan baru pada suatu perairan pantai atau rawa umum dilakukan karena semakin tingginya tingkat populasi manusia Jakarta yang menyebabkan ruang untuk lahan pembangunan semakin sempit, sedangkan pertumbuhan penduduk dengan segala aktivitasnya tidak lepas dengan masalah kebutuhan lahan. Rencana pemerintah DKI Jakarta dalam usahanya meningkatkan kualitas lingkungan Pantai Utara Jakarta serta mewujudkan tata ruang daerah tersebut sebagai kota pantai yang berkelanjutan (waterfront city) agar dapat berdiri sejajar dan bersaing dengan kota pantai lainnya di dunia dibuktikan dengan adanya pengembangan reklamasi di kawasan Pantai Utara Jakarta seluas 2.700 Ha.
Kawasan Pantura Jakarta di Kotamadya Jakarta Utara direncanakan meliputi sebagian hasil reklamasi dan sebagian lainnya berupa kawasan daratan pantai lama yang dilakukan secara terpadu dengan penataan kembali daratan pantai lama seluas 2500 Ha. Area hasil reklamasi meliputi bagian laut yang diukur dari garis pantai utara Jakarta secara tegak lurus ke arah laut, sehingga mencakup garis yang menghubungkan titik-titik terluar dengan kedalaman laut – 8 m yang diatur dalam Pasal 42 ayat 2b Perpres No. 54 Tahun 2004 sepanjang garis Pantai Utara Jakarta ± 32 km, meliputi garis pantai yang berbatasan dengan Pantai Utara Tangerang (di bagian barat) hingga perbatasan Pantai Utara Bekasi (di bagian timur).

Peta Pantai Utara Sebelum Reklamasi

Rencana Tata Ruang Setelah Reklamasi

2.PERMASALAHAN DALAM REKLAMASI PANTURA
Proyek reklamasi dan revitalisasi yang dikembangkan oleh Pemda DKI ini akan secara menyeluruh mengubah daerah tersebut dari keadaannya yang kumuh dan ditempati oleh masyarakat menengah kebawah terutama nelayan menjadi kawasan elit. Undang-Undang No.27 Tahun 2007 dalam Pasal 34 telah menjelaskan bahwa reklamasi hanya dapat dilaksanakan jika manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar dari biayanya. Selain itu, pelaksanaan reklamasi wajib menjaga dan memperhatikan hal-hal seperti:
a.Keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat.
b.Keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan pelestarian lingkungan pesisir.
c.Persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material.
Ada enam masalah penting dampak lingkungan yang mungkin terjadi akibat reklamasi, yakni penyesuaian penggunaan tanah setelahnya, penyediaan dan pengangkutan bahan reklamasi, perubahan dinamika kelautan (abrasi dan sedimentasi), perubahan tata air permukaan (banjir), penyediaan air bersih, serta perubahan pola tata ruang permukiman lama.
Perubahan fungsi Pantai Utara Jakarta setelah reklamasi yang dinilai akan menimbulkan masalah terhadap tatanan lingkungan tersebut disebabkan sebagian kawasan reklamasi akan menjelma menjadi kompleks perumahan, real estate, dan kota mandiri yang juga berdampak rusaknya hutan mangrove dan hilangnya tempat bertelur ikan-ikan, ekosistem di pesisir yang rusak, dan dapat meningkatkan potensi banjir bila dikaitkan dengan adanya kenaikan muka air laut oleh pemanasan global. Perubahan terhadap bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan reklamasi bisa juga terjadi berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai dan merusak kawasan tata air.
Masalah pun akan timbul pada bidang sosial, proyek reklamasi menyebabkan komunitas nelayan pantai tersisih dan mereka tak hanya kehilangan pekerjaan, tapi mungkin juga gagal beradaptasi mencari pekerjaan di bidang lain. Aspek ini, jika tak ditangani secara tepat akan menimbulkan kerawanan sosial baru.

3.ANALISIS PERMASALAHAN REKLAMASI DAN TATA RUANG DKI JAKARTA
Perencanaan reklamasi sudah seharusnya diselaraskan dengan rencana tata ruang kota. Tata ruang kota yang baru nantinya harus memerhatikan kemampuan daya dukung sosial dan ekologi bagi pengembangan kota dan tidak dapat secara terus-menerus dipaksakan untuk mempertahankan kota sebagai pusat kegiatan ekonomi dan politik. Fungsi kota sebagi pusat perdagangan, jasa dan industri harus secara bertahap dipisahkan dari fungsi kota ini sebagai pusat pemerintahan.
Selain itu, proyek reklamasi di sekitar kawasan pantai seharusnya terlebih dahulu diperhitungkan kelayakannya secara transparan dan ilmiah melalui kajian teknis terhadap seberapa besar kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkannya lalu disampaikan secara terbuka kepada publik. Karena penting diingat bahwa reklamasi adalah bentuk intervensi manusia terhadap keseimbangan lingkungan alami pantai yang selalu dalam keadaan seimbang dan dinamis, dan setelah reklamasi tentunya akan melahirkan perubahan ekosistem seperti perubahan pola arus, erosi, sedimentasi pantai, serta kerusakan biota laut dan sebagainya.
Berdasarkan analisa profesional dan para ahli, maka beberapa dampak dan permasalahan dari berbagai hal tersebut harus dipahami sebagai permasalahan yang integral yang harus diperhatikan. Dalam kategori analisa yang sesuai dengan deskripsi masalah baik dari segi sosial, ekonomi dan ekologi, maka diperlukan konsep yang integral sebagai langkah konkrit dan bahan pertimbangan bagi pemberi kebijakan dan para pihak yang terlibat dalam proyek reklamasi tersebut. Selain problem lingkungan dan sosial ekonomi, maka permasalahan hukum pun perlu mendapatkan perhatian. Kajian terhadap landasan hukum rencana reklamasi, pelaksanaan, serta peruntukannya perlu dipertimbangkan. Ada banyak produk hukum yang mengatur tentang reklamasi Pantura Jakarta mulai dari Undang-Undang No.27 Tahun 2007, Perpres No. 54 Tahun 2008 yang menggantikan Kepres No. 52 Tahun 1995, dan Peraturan Daerah DKI Jakarta sedangkan yang menjadi persoalan adalah konsistensi penerapan dan penegakan aturan.

4.SOLUSI HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN REKLAMASI
Melihat dinamika pembangunan nasional saat ini, mungkin saja jika dikatakan bahwa reklamasi pantai akan menjadi era baru pengembangan wilayah kota di masa depan, setidaknya bagi kota-kota besar di Jawa yang berbatasan dengan laut. Tidak hanya didorong oleh laju pertumbuhan penduduk, tetapi juga karena dunia usaha akan lebih memilih reklamasi pantai sebagai upaya mendapatkan lahan yang strategis, meski dengan investasi yang lebih tinggi.
Beberapa kasus yang terjadi menunjukkan bahwa implementasi kegiatan reklamasi di lapangan seringkali tidak sesuai dengan perencanaannya sehingga mengakibatkan kerusakan secara sosial, ekonomi maupun lingkungan, sehingga menimbulkan resistensi dari masyarakat. Oleh karena itu, perlu dirumuskan bersama langkah penyelesaian:
1.Sudah waktunya dirumuskan peraturan setingkat Undang-Undang yang mengatur kegiatan reklamasi/pengerukan danau/sungai serta seluruh aspek dan masalah terkait, agar dapat diberikan kepastian hukum yang lebih mengikat terhadap pekerjaan yang begitu besar seperti dengan terbentuknya UU No. 27 Tahun 2007 namun lebih terperinci lagi sebab kepastian hukum, dalam hal ini hukum tanah, juga merupakan suatu syarat mutlak bagi kesuksesan pembangunan nasional.
2.Diperlukan koordinasi dan komunikasi yang sinergis dari segenap stakeholders dalam kegiatan reklamasi sehingga prinsip-prinsip reklamasi dapat berjalan dengan baik.
3.Selama belum ada ketentuan hukum yang pasti, permasalahan itu dapat dipecahkan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum tanah positif yang ada. Urutan tahap-tahap kemunculan tanah baru itu adalah sebagai berikut:
a.Pertama, berbentuk laut yang dikuasai oleh negara.
b.Kedua, direklamasi atas ijin yang diberikan oleh pemerintah dan ijin reklamasi itu dapat diberikan setelah dilakukan AMDAL sesuai dengan PP No. 51 Tahun 1993.
c.Ketiga, muncul tanah baru yang tentunya dikuasai oleh negara, karena ijin reklamasi semata-mata hanya untuk melakukan reklamasi dan tidak untuk menguasai tanah hasil reklamasi.
Setelah tanah baru itu jelas wujudnya, barulah masyarakat dapat memohon suatu hak atas tanah tersebut kepada pemerintah untuk digunakan sesuai tujuan yang ditentukan oleh pemerintah dan pihak yang mereklamasi mendapat prioritas pertama untuk memohon hak atas tanah tersebut.
Di dalam sebuah studi tentang pemberdayaan masyarakat pesisir pun, disebutkan beberapa langkah yang disebut sebagai manajemen sumber daya peisir yang dalam hal ini juga dapat dijadikan model analisis integral antara lain:
a.Mengeluarkan kebijakan integral terhadap semua sektor.
b.Mengidentifikasi secara seksama dan mengukur dampak proyek (reklamasi) pada daerah pesisir dan interaksi yang terjadi.
c.Mengkonsentrasikan terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan manajemen kawasan pesisir seperti ekologi, sosial, dan ekonomi yang biasanya menjadi terabaikan akibat adanya pembangunan seperti reklamasi tersebut.
d.Melakukan pendekatan preventif yang harus diprioritaskan dalam rencana dan pelaksanaan rencana reklamasi, selain itu perlu juga adanya eveluasi dini dan observasi secara sistematis terhadap kemungkinan buruk yang akan terjadi.
e.Mengedepankan pengembangan dan pelaksanaan teknologi yang baik dan ramah lingkungan sehinga akan memiliki kesesuaian dengan semua aspek.
f.Harus bersifat terbuka dan transparan dalanm menerangkan rencana reklamasi, dan memberikan kesempatan kepada individu, pemerintah, LSM, dan masyarakat luas untuk ikut memberikan kontribusi dalam rangka mengoreksi segala bentuk pelaksanaan reklamasi yang dianggap salah.

5.KESIMPULAN
Upaya pengajuan rencana reklamasi pantai utara Jakarta, tidak terlepas dari tuntutan kebutuhan pemukiman yang semakin mendesak kota Jakarta. Namun disisi lain rencana ini menjadi ganjalan bagi penyelamatan hutan mangrove pantai utara Jakarta, dimana hutan ini menjadi media utama dalam menahan abrasi, penahan lumpur, perangkap sedimentasi dan pemeliharaan ekosistem mangrove beserta habitatnya.

6.SARAN
Reklamasi sebagai bagian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta sebaiknya tetap memperhatikan tentang pemulihan kembali kawasan Hutan Lindung seperti Angke Kapuk dan harus dilakukan dengan upaya yang seramah mungkin terhadap alam dengan membuat konstruksi reklamasi yang masih memungkinkan keluar masuknya air laut pada kawasan Hutan Wisata Alam Angke Kapuk (HWAAK) dan Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK).

7.REFERENSI
Kepres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta
Perda Provinsi DKI Jakarta No. 1 Tahun 2008 tentang RPJMD 2007-2012
Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Jabodetabekpunjur
Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
http://www.bkprn.org/berita-detail.php?id=246
http://muaraangke.blogspot.com/
http://pioner2b.files.wordpress.com/2009/11/paper-ekonomi-sumberdayalahan.pdf




Read More......