REKLAMASI PANTAI UTARA DAN KAITANNYA DENGAN RENCANA TATA RUANG DKI JAKARTA

Kamis, 03 Maret 2011

REKLAMASI PANTAI UTARA DAN KAITANNYA DENGAN RENCANA TATA RUANG DKI JAKARTA
Oleh:
Debby Rahmawati (10308067)
Mahasiswa SarMag 2008 Jurusan Teknik Sipil Universitas Gunadarma
dera_gals@yahoo.com

1.PENDAHULUAN
Rencana pembangunan yang ada secara nasional dan daerah harus saling mengacu dan mengisi yang berarti bahwa antar hukum yang berlaku tidak akan lepas dari hukum-hukum lainnya ditingkat bawah ataupun atasnya dan akan saling merujuk berkenaan dengan suatu masalah.
Seperti contoh masalah reklamasi diatur dalam Undang Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan dirujuk oleh Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Jabodetabekpunjur dimana keduanya dijadikan acuan untuk pembangunan reklamasi pantai. Pendekatan secara partisipatif dalam perencanaan pembangunan yang ada pun diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional di Poin 3 (Proses Perencanaan) bahwa proses perencanaan pembangunan dilaksanakan dengan melibatkan seluruh stakeholder di pusat dan daerah dengan adanya pengendalian pemanfaatan ruang agar tercipta tatanan ruang yang tertib.

Di dalam Peraturan Daerah No.1 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012 dalam hal implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jakarta khususnya di Jakarta Utara direncanakan pengembangan reklamasi Pantai Utara Jakarta. Reklamasi yang berupa proses pembuatan daratan baru pada suatu perairan pantai atau rawa umum dilakukan karena semakin tingginya tingkat populasi manusia Jakarta yang menyebabkan ruang untuk lahan pembangunan semakin sempit, sedangkan pertumbuhan penduduk dengan segala aktivitasnya tidak lepas dengan masalah kebutuhan lahan. Rencana pemerintah DKI Jakarta dalam usahanya meningkatkan kualitas lingkungan Pantai Utara Jakarta serta mewujudkan tata ruang daerah tersebut sebagai kota pantai yang berkelanjutan (waterfront city) agar dapat berdiri sejajar dan bersaing dengan kota pantai lainnya di dunia dibuktikan dengan adanya pengembangan reklamasi di kawasan Pantai Utara Jakarta seluas 2.700 Ha.
Kawasan Pantura Jakarta di Kotamadya Jakarta Utara direncanakan meliputi sebagian hasil reklamasi dan sebagian lainnya berupa kawasan daratan pantai lama yang dilakukan secara terpadu dengan penataan kembali daratan pantai lama seluas 2500 Ha. Area hasil reklamasi meliputi bagian laut yang diukur dari garis pantai utara Jakarta secara tegak lurus ke arah laut, sehingga mencakup garis yang menghubungkan titik-titik terluar dengan kedalaman laut – 8 m yang diatur dalam Pasal 42 ayat 2b Perpres No. 54 Tahun 2004 sepanjang garis Pantai Utara Jakarta ± 32 km, meliputi garis pantai yang berbatasan dengan Pantai Utara Tangerang (di bagian barat) hingga perbatasan Pantai Utara Bekasi (di bagian timur).

Peta Pantai Utara Sebelum Reklamasi

Rencana Tata Ruang Setelah Reklamasi

2.PERMASALAHAN DALAM REKLAMASI PANTURA
Proyek reklamasi dan revitalisasi yang dikembangkan oleh Pemda DKI ini akan secara menyeluruh mengubah daerah tersebut dari keadaannya yang kumuh dan ditempati oleh masyarakat menengah kebawah terutama nelayan menjadi kawasan elit. Undang-Undang No.27 Tahun 2007 dalam Pasal 34 telah menjelaskan bahwa reklamasi hanya dapat dilaksanakan jika manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar dari biayanya. Selain itu, pelaksanaan reklamasi wajib menjaga dan memperhatikan hal-hal seperti:
a.Keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat.
b.Keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan pelestarian lingkungan pesisir.
c.Persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material.
Ada enam masalah penting dampak lingkungan yang mungkin terjadi akibat reklamasi, yakni penyesuaian penggunaan tanah setelahnya, penyediaan dan pengangkutan bahan reklamasi, perubahan dinamika kelautan (abrasi dan sedimentasi), perubahan tata air permukaan (banjir), penyediaan air bersih, serta perubahan pola tata ruang permukiman lama.
Perubahan fungsi Pantai Utara Jakarta setelah reklamasi yang dinilai akan menimbulkan masalah terhadap tatanan lingkungan tersebut disebabkan sebagian kawasan reklamasi akan menjelma menjadi kompleks perumahan, real estate, dan kota mandiri yang juga berdampak rusaknya hutan mangrove dan hilangnya tempat bertelur ikan-ikan, ekosistem di pesisir yang rusak, dan dapat meningkatkan potensi banjir bila dikaitkan dengan adanya kenaikan muka air laut oleh pemanasan global. Perubahan terhadap bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan reklamasi bisa juga terjadi berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai dan merusak kawasan tata air.
Masalah pun akan timbul pada bidang sosial, proyek reklamasi menyebabkan komunitas nelayan pantai tersisih dan mereka tak hanya kehilangan pekerjaan, tapi mungkin juga gagal beradaptasi mencari pekerjaan di bidang lain. Aspek ini, jika tak ditangani secara tepat akan menimbulkan kerawanan sosial baru.

3.ANALISIS PERMASALAHAN REKLAMASI DAN TATA RUANG DKI JAKARTA
Perencanaan reklamasi sudah seharusnya diselaraskan dengan rencana tata ruang kota. Tata ruang kota yang baru nantinya harus memerhatikan kemampuan daya dukung sosial dan ekologi bagi pengembangan kota dan tidak dapat secara terus-menerus dipaksakan untuk mempertahankan kota sebagai pusat kegiatan ekonomi dan politik. Fungsi kota sebagi pusat perdagangan, jasa dan industri harus secara bertahap dipisahkan dari fungsi kota ini sebagai pusat pemerintahan.
Selain itu, proyek reklamasi di sekitar kawasan pantai seharusnya terlebih dahulu diperhitungkan kelayakannya secara transparan dan ilmiah melalui kajian teknis terhadap seberapa besar kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkannya lalu disampaikan secara terbuka kepada publik. Karena penting diingat bahwa reklamasi adalah bentuk intervensi manusia terhadap keseimbangan lingkungan alami pantai yang selalu dalam keadaan seimbang dan dinamis, dan setelah reklamasi tentunya akan melahirkan perubahan ekosistem seperti perubahan pola arus, erosi, sedimentasi pantai, serta kerusakan biota laut dan sebagainya.
Berdasarkan analisa profesional dan para ahli, maka beberapa dampak dan permasalahan dari berbagai hal tersebut harus dipahami sebagai permasalahan yang integral yang harus diperhatikan. Dalam kategori analisa yang sesuai dengan deskripsi masalah baik dari segi sosial, ekonomi dan ekologi, maka diperlukan konsep yang integral sebagai langkah konkrit dan bahan pertimbangan bagi pemberi kebijakan dan para pihak yang terlibat dalam proyek reklamasi tersebut. Selain problem lingkungan dan sosial ekonomi, maka permasalahan hukum pun perlu mendapatkan perhatian. Kajian terhadap landasan hukum rencana reklamasi, pelaksanaan, serta peruntukannya perlu dipertimbangkan. Ada banyak produk hukum yang mengatur tentang reklamasi Pantura Jakarta mulai dari Undang-Undang No.27 Tahun 2007, Perpres No. 54 Tahun 2008 yang menggantikan Kepres No. 52 Tahun 1995, dan Peraturan Daerah DKI Jakarta sedangkan yang menjadi persoalan adalah konsistensi penerapan dan penegakan aturan.

4.SOLUSI HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN REKLAMASI
Melihat dinamika pembangunan nasional saat ini, mungkin saja jika dikatakan bahwa reklamasi pantai akan menjadi era baru pengembangan wilayah kota di masa depan, setidaknya bagi kota-kota besar di Jawa yang berbatasan dengan laut. Tidak hanya didorong oleh laju pertumbuhan penduduk, tetapi juga karena dunia usaha akan lebih memilih reklamasi pantai sebagai upaya mendapatkan lahan yang strategis, meski dengan investasi yang lebih tinggi.
Beberapa kasus yang terjadi menunjukkan bahwa implementasi kegiatan reklamasi di lapangan seringkali tidak sesuai dengan perencanaannya sehingga mengakibatkan kerusakan secara sosial, ekonomi maupun lingkungan, sehingga menimbulkan resistensi dari masyarakat. Oleh karena itu, perlu dirumuskan bersama langkah penyelesaian:
1.Sudah waktunya dirumuskan peraturan setingkat Undang-Undang yang mengatur kegiatan reklamasi/pengerukan danau/sungai serta seluruh aspek dan masalah terkait, agar dapat diberikan kepastian hukum yang lebih mengikat terhadap pekerjaan yang begitu besar seperti dengan terbentuknya UU No. 27 Tahun 2007 namun lebih terperinci lagi sebab kepastian hukum, dalam hal ini hukum tanah, juga merupakan suatu syarat mutlak bagi kesuksesan pembangunan nasional.
2.Diperlukan koordinasi dan komunikasi yang sinergis dari segenap stakeholders dalam kegiatan reklamasi sehingga prinsip-prinsip reklamasi dapat berjalan dengan baik.
3.Selama belum ada ketentuan hukum yang pasti, permasalahan itu dapat dipecahkan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum tanah positif yang ada. Urutan tahap-tahap kemunculan tanah baru itu adalah sebagai berikut:
a.Pertama, berbentuk laut yang dikuasai oleh negara.
b.Kedua, direklamasi atas ijin yang diberikan oleh pemerintah dan ijin reklamasi itu dapat diberikan setelah dilakukan AMDAL sesuai dengan PP No. 51 Tahun 1993.
c.Ketiga, muncul tanah baru yang tentunya dikuasai oleh negara, karena ijin reklamasi semata-mata hanya untuk melakukan reklamasi dan tidak untuk menguasai tanah hasil reklamasi.
Setelah tanah baru itu jelas wujudnya, barulah masyarakat dapat memohon suatu hak atas tanah tersebut kepada pemerintah untuk digunakan sesuai tujuan yang ditentukan oleh pemerintah dan pihak yang mereklamasi mendapat prioritas pertama untuk memohon hak atas tanah tersebut.
Di dalam sebuah studi tentang pemberdayaan masyarakat pesisir pun, disebutkan beberapa langkah yang disebut sebagai manajemen sumber daya peisir yang dalam hal ini juga dapat dijadikan model analisis integral antara lain:
a.Mengeluarkan kebijakan integral terhadap semua sektor.
b.Mengidentifikasi secara seksama dan mengukur dampak proyek (reklamasi) pada daerah pesisir dan interaksi yang terjadi.
c.Mengkonsentrasikan terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan manajemen kawasan pesisir seperti ekologi, sosial, dan ekonomi yang biasanya menjadi terabaikan akibat adanya pembangunan seperti reklamasi tersebut.
d.Melakukan pendekatan preventif yang harus diprioritaskan dalam rencana dan pelaksanaan rencana reklamasi, selain itu perlu juga adanya eveluasi dini dan observasi secara sistematis terhadap kemungkinan buruk yang akan terjadi.
e.Mengedepankan pengembangan dan pelaksanaan teknologi yang baik dan ramah lingkungan sehinga akan memiliki kesesuaian dengan semua aspek.
f.Harus bersifat terbuka dan transparan dalanm menerangkan rencana reklamasi, dan memberikan kesempatan kepada individu, pemerintah, LSM, dan masyarakat luas untuk ikut memberikan kontribusi dalam rangka mengoreksi segala bentuk pelaksanaan reklamasi yang dianggap salah.

5.KESIMPULAN
Upaya pengajuan rencana reklamasi pantai utara Jakarta, tidak terlepas dari tuntutan kebutuhan pemukiman yang semakin mendesak kota Jakarta. Namun disisi lain rencana ini menjadi ganjalan bagi penyelamatan hutan mangrove pantai utara Jakarta, dimana hutan ini menjadi media utama dalam menahan abrasi, penahan lumpur, perangkap sedimentasi dan pemeliharaan ekosistem mangrove beserta habitatnya.

6.SARAN
Reklamasi sebagai bagian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta sebaiknya tetap memperhatikan tentang pemulihan kembali kawasan Hutan Lindung seperti Angke Kapuk dan harus dilakukan dengan upaya yang seramah mungkin terhadap alam dengan membuat konstruksi reklamasi yang masih memungkinkan keluar masuknya air laut pada kawasan Hutan Wisata Alam Angke Kapuk (HWAAK) dan Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK).

7.REFERENSI
Kepres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta
Perda Provinsi DKI Jakarta No. 1 Tahun 2008 tentang RPJMD 2007-2012
Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Jabodetabekpunjur
Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
http://www.bkprn.org/berita-detail.php?id=246
http://muaraangke.blogspot.com/
http://pioner2b.files.wordpress.com/2009/11/paper-ekonomi-sumberdayalahan.pdf




Read More......